Opini Publik: Lahirnya Mahkamah Konstitusi setidaknya memberikan harapan baru dalam perbaikan sistem hukum di Indonesia. Kedudukannya sebagai court of laws diharapkan dapat menghentikan polemik dalam bidang ketatanegaraan khususnya mengenai perbedaan tafsir undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi Penengah Konflik DPR – Presiden
Pasca jatuhnya mantan presiden Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, lembaga-lambaga negara khususnya DPR mulai menunjukkan perbaikan peran kenegaraannya. Kritisisme yang sebelumnya jarang ditunjukkan DPR perlahan-lahan mulai muncul. Sejumlah hak dan kewenangan yang dimiliki DPR seperti hak interpelasi dan pembentukan panitia khusus (pansus) mulai terlihat. Penggunaan hak-hak tersebut biasanya merupakan penyikapan atau reaksi atas kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif. Fenomena ini merupakan indikator menguatnya posisi DPR dalam kancah perpolitikan nasional. Lebih khusus lagi, menguatnya posisi DPR ini adalah perkembangan positif mengingat peranannya sebagai kekuatan kontrol terhadap kekuasaan presiden yang sebelumnya terkesan absolut.
Dalam perkembangannya secara kelembagaan antara DPR dan presiden sering terjadi perbedaan pendapat bahkan mengarah pada konflik. Jika konflik yang dimaksud adalah konflik yang dipicu oleh kepentingan politik, maka itu menjadi hal yang wajar. Namun jika yang terjadi adalah konflik dalam bidang hukum dan menyangkut pelanggaran terhadap undang-undang seperti anggapan DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum, maka sudah semestinya persoalan itu diserahkan kepada lembaga yang berwenang dalam bidang hukum. Dalam hal inilah Mahkamah Konstitusi mulai menjalankan perannya.
Dalam Pasal 24C UUD 1945 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pasal ini berarti bahwa jika DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran maka Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu bagian dari penyelesaian persoalan ini. Dalam hal ini ada pengakuan bahwa dalam setiap perselisihan antara lembaga negara perlu diupayakan kepastian hukum dan tertib konstitusi meskipun penyelesaian akhirnya tetap melalui langkah-langkah politik di DPR dan MPR.
Pasal ini setidaknya mencerminkan bahwa hukum harus dikedepankan dalam setiap penyelesaian persoalan kenegaraan. Sebelumnya, ketika penyelesaian kasus atau perbedaan pendapat antara DPR dan presiden selalu diselesaikan secara politik. Contohnya adalah pada tahun 2000 yang lalu ketika terjadi perselisihan antara DPR versus Gus Dur yang ketika itu menjabat sebagai presiden. DPR menganggap bahwa Presiden telah melakukan beberapa kesalahan mulai dari dugaan korupsi sampai pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA. Ketika itu memang ada upaya yang dilakukan, namun aksi adu kekuatan politik yang lebih mengedepan. Polemik tersebut berakhir dengan sidang istimewa dan akhirnya Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan meskipun tetap berkeyakinan bahwa dirinya tidak terbukti melanggar undang-undang.
Jika di kemudian hari terjadi lagi perselisihan yang serupa maka di sinilah arti penting adanya Mahkamah Konstitusi karena putusannya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bersifat final. Dalam penyelesaian sengketa antara DPR dan Presiden, meskipun Mahkamah konstitusi memiliki peranan yang sangat penting, akan tetapi sifatnya masih terbatas dan pasif karena menunggu permohonan dari DPR (Pasal 80 UU No. 24 Tahun 2003). Hal ini berarti bahwa peran yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi masih bergantung sejauhmana DPR berinisiatif melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai penengah perselisihan. Jika DPR tidak melayangkan surat permohonan, maka Mahkamah Konstitusi belum dapat menjalankan perannya sebagai penengah perselisihan antara DPR dan presiden. Hal ini juga berarti bahwa lembaga yang memiliki peranan paling penting dalam hal perselisihan ini atau bahkan impeachment adalah DPR dan pada akhirnya adalah MPR.
Adanya Mahkamah Konstitusi barulah merupakan salah satu dari sekian banyak fase yang harus dilewati dalam rangka perbaikan sistem hukum di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, peranan penting lembaga ini baik sebagai jembatan konflik antar lembaga negara maupun sebagai juru tafsir undang-undang sangat bergantung pada komitmen para hakim konstitusi dalam menjaga independensi selama menjalankan tugas konstitusionalnya sehingga setiap keputusan yang diambil dirasakan adil dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis meskipun ada kelompok tertentu yang merasa kecewa dan dirugikan.
Selain itu peran Mahkamah Konstitusi dalam menjembatani konflik DPR-Presiden dan/atau Wakil Presiden akan sangat bergantung pada komitmen dan kesadaran hukum lembaga-lembaga tersebut karena realitasnya Mahkamah konstitusi tidak berwenang menjatuhkan Presiden dan Wakil Presiden. Apapun keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi pada akhirnya diserahkan kembali sepenuhnya pada DPR dan MPR.
*Opini Abdul Hakam (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia 2005)